Senin, 13 Oktober 2008

Contoh Editorial - Politik Rupiah Plus Makan
Politik Rupiah Plus Makan

Seiring rencana kenaikan harga bahan bakar minyak yang bakal menghempaskan jutaan orang ke lembah kemiskinan, pemerintah coba menopangnya melalui jaring pengaman yang disebut dengan bantuan langsung tunai (BLT) plus. Sekitar 19,1 juta rumah tangga miskin akan disantuni uang Rp100 ribu per bulan selama satu tahun.

Berbeda dari BLT pada 2005 yang hanya berbentuk uang, jaring pengaman kali ini diberi istilah lebih keren, BLT plus. Yaitu uang plus makan. Sampai Desember nanti total anggaran untuk BLT plus mencapai Rp14 triliun.

Belajar dari BLT 2005 yang lebih banyak menimbulkan masalah daripada solusi, berbagai kalangan menghendaki agar pemerintah mengubah cara menolong orang miskin. Daripada menolong dengan uang tunai yang bermanfaat sesaat, lebih baik menolong sekaligus membangun motivasi bekerja dan disiplin. Atau memberi kail, bukan ikan.

Uang Rp14 triliun disalurkan ke kantong-kantong orang miskin. Mereka tidak diberi uang tunai. Namun, uang itu dipergunakan untuk membangun, misalnya sanitasi di perdesaan. Mereka memperoleh gaji karena bekerja sebagai, misalnya, buruh proyek-proyek infrastruktur perdesaan. Uang gaji itu mereka pergunakan untuk membeli makan. Uang habis, makanan habis, tetapi infrastruktur terbangun. Itulah bantuan yang sekaligus membangun.

Uang yang diperoleh dari keberanian menaikkan harga BBM dipergunakan untuk memerangi kemiskinan secara lebih bermakna. Setelah Rp14 triliun digelontorkan ke kantong-kantong kemiskinan, akan terlihat kehadiran infrastruktur perdesaan secara signifikan. Ingat, salah satu penyebab kemiskinan di perdesaan adalah miskinnya infrastruktur.

Opsi yang gampang dan sudah diketahui itu, entah mengapa, tidak dipilih secara berani dan konsisten. Pemerintah lebih cenderung berpolitik dengan rupiah dan makanan.
Membagi-bagi rupiah dalam jangka pendek terlihat populer di kalangan orang miskin. Seakan-akan menyelesaikan kemiskinan. Padahal, itu cuma penyelesaian sesaat.

Bahkan, bila direnung lebih dalam, memberi rupiah kepada orang miskin sesungguhnya cermin sikap pemerintah yang tidak ingin direpotkan masalah kemiskinan itu sendiri. Memberi seperti itu sesungguhnya mengandung niat mengusir, tidak menyelesaikan. Mudah-mudahan setelah diberi terus-menerus, orang-orang miskin malu hati untuk datang meminta. Setelah itu mereka boleh mati di pinggir jalan.

Itulah sesungguhnya yang menjadi alasan mengapa banyak pihak menentang mengatasi kemiskinan dengan uang tunai. Karena, sesungguhnya, terselip pengusiran dari pemberian yang seakan-akan berbudi luhur dan berbelas kasih itu.

Inti solusi terhadap kemiskinan adalah kerja. Orang-orang harus bekerja dan mempunyai pekerjaan agar dia mengatasi kemiskinan. Dengan demikian, membagi-bagi uang tunai begitu saja atas nama apa pun kontraproduktif terhadap upaya memerangi kemiskinan.

BLT plus adalah cemoohan sekaligus pengerdilan terhadap keberanian pemerintah menaikkan harga BBM. Bila muaranya adalah bagi-bagi uang plus makanan, tidak sebanding antara risiko dan keluaran. Risikonya amat besar, tetapi penyelesaiannya justru mengerdilkan. Pengerdilan melalui BLT plus itu.

Tidak ada komentar: