Senin, 13 Oktober 2008

Contoh Editorial - Menteri Purnomo dalam Sorotan
Menteri Purnomo dalam Sorotan

MINYAK mentah bagi Indonesia adalah penyelamat, tetapi sekaligus petaka. Sekarang, dengan tingkat produksi yang berada di bawah 1 juta barel per hari, minyak telah kehilangan fungsi sebagai penyelamat dan berubah menjadi bencana. Bencana yang menyengsarakan semua.
Semakin jelas saat ini bahwa pemicu bencana itu adalah di sektor produksi. Sektor yang berada pada wilayah otoritas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Coba tengok tren produksi minyak kita sejak 2003. Pada tahun itu, produksi kita adalah 1,13 juta barel per hari. Turun menjadi 992 ribu bph, turun lagi menjadi 950 ribu bph pada 2005, lalu menjadi 925 ribu bph pada 2006, 910 ribu bph pada 2007, dan 927 ribu bph tahun ini.

Penurunan drastis dan konstan produksi minyak Indonesia sejak 2003 terjadi di era Purnomo Yusgiantoro menjadi Menteri ESDM. Sebelumnya, pada 2000, produksi minyak Indonesia bahkan sempat menyentuh angka 1,31 juta barel per hari.
Pasti ada yang salah dengan tren produksi yang meluncur turun secara konstan itu. Boleh kita berkilah pada undang-undang. Boleh berkilah pada investasi yang sangat mahal.

Seorang menteri dipercaya memimpin portofolio kabinet karena dianggap mampu menyelesaikan persoalan. Karena dia mampu, dia mau. Kalau dia mau, harus ada tanggung jawabnya.

Nah, yang belum terdengar dari seorang Purnomo adalah pernyataan dia tentang tanggung jawabnya terhadap kemerosotan produksi minyak yang drastis dan konstan itu. Kalau ada yang salah, di mana dan apa kesalahannya. Lalu, siapa yang bertanggung jawab terhadap kesalahan itu semua?

Apakah kesalahan harus dilempar kepada Presiden? Kalau demikian adanya, untuk apa para menteri bertengger di kursi kabinet? Untuk gagah-gagahan?

Demokrasi mengajarkan hak. Tetapi, demokrasi juga mengharuskan adanya tanggung jawab yang menjadi kewajiban sehingga antara hak dan kewajiban tidak timpang. Hal itu berlaku untuk semua. Untuk warga negara biasa, dan juga untuk mereka-mereka yang menyandang menteri kabinet.

Para pejabat negara harus mulai belajar, bahkan dipaksa untuk malu terhadap kegagalan mengemban tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Adalah aneh jika seorang menteri dengan bangga mengumbar optimisme, tetapi faktanya adalah kegagalan yang dahsyat. Dahsyat karena telah menyengsarakan semua orang.

Krisis yang mengancam di balik rencana kenaikan harga BBM yang tidak terelakkan lagi, walaupun itu harus menempatkan SBY pada posisi teramat sulit karena mengingkari janji, harus ditempatkan pada kultur malu di kalangan pejabat, terutama menteri, yang gagal mengemban tugasnya.

Nah, dalam soal BBM sekarang, Menteri Purnomo Yusgiantoro harus bertanggung jawab. Purnomo harus malu dengan kegagalan mengangkat produksi minyak Indonesia kembali ke level di atas 1 juta barel per hari.

Bila hari-hari belakangan ini desakan publik agar Presiden memberhentikan Purnomo semakin keras, itu bisa dipahami dari sisi kinerja. Bukti yang tidak dapat ditolak adalah justru pada masa kepemimpinan Purnomo di ESDM, produksi minyak Indonesia jeblok.

Itu berarti Purnomo gagal melaksanakan tanggung jawabnya.
Daripada dipecat, adalah lebih bijak bila Purnomo mengundurkan diri saja. Itu sekaligus pelajaran moral bagi demokrasi. Bahwa menjadi menteri tidak lantas haram berhenti dan diberhentikan.